BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Jauh sebelum kita memasuki tahun 2000,
sidang Pleno ke XI menyerukan empat nilai yang perlu ditekankan dalam
menyongsong tahun 2000. Keempat nilai universal tersebut adalah hormat kepada
sesama, kreativitas, solidaritas yang bertanggung jawab dan kerohanian. Apabila
himbauan itu kita refleksiakan kembali pada saat ini, rasa-rasanya tepatlah
kekhawatiran banyak pihak yang terjadi saat itu, yaitu bahwa dunia akan dilanda
degradasi moral secara global apabila nilai-nilai universal seperti disebutkan
di atas tetap tidak mendapat perhatian lebih.
Dalam hubungan dengan kondisi kemanusiaan
di Indonesia kita ketahui bahwa krisis ekonomi dan pilitik yang telah lebih
dari tiga tahun ini, menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan yang kian
menajam dan perlu segera mendapat penanganan adalah masalah merosotnya moral
sumber daya manusia. Banyak kasus yang menjadi bukti akan merosotnya moralitas
manusia Indonesia misalanya saja kasus pemerkosaan, maraknya pemakaian obat-obatan
terlarang, pembunuhan, amuk masa dan masih banyak lagi.
Masalah kemerosotan moral manusia
Indonesia itu menjadi semakin terlihat ironis ketika kita sedang gencar-gencarnya
merencanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka menghadapi
era globalisasi. Peningaktan kualitas sumber daya manusia merupakan kunci
kemampuan kita menghadapi era globalisasi karena jika tidak memilki sumber daya
manusia yang handal tentu kita akan kalah bersaing di negeri sendiri manakala
sumber daya manusia dari negara asing bebas masuk ke negara kita. Maka dapat
kita lihat betapa maraknya berbagai instansi maupun perguruan tinggi
berlomba-lomba maningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Ternyata terbukti bahwa kita memang
belum memiliki sumber daya manusia yang berkualitas karena sumber daya manusi kita
gagal mengatasi krisis ekonomi, politik, sampai hampir-hampir mengakibatkan
krisis moral bangsa.
Jika masalah kemerosotan ini tidak
segera diatasi, perlahan-perlahan bangsa ini kan terjerumus pada kehancuran
yang lebih parah. Untuk itu perlu kiranya segera dicari cara pemecahan yang
terstruktur, efektif dan tepat sasaran. Dengan demikian dalam waktu yang
relatif singkat kita mampu mengembalikan kualitas moral sumber daya manusia
pada kondisi normal.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Peran Keluarga Dalam
Perkembangan Anak.
2. Bagaimana Peran Keluarga Dalam
Pendidikan Anak.
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui Bagaiman Peran Keluarga Terhadap Perkembangan Anak.
2.
Mengetahui Bagaimana Peran Keluarga Dalam Memberikan Pendidikan Kepada Anaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERAN KELUARGA DALAM PERKEMBANGAN ANAK
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang memiliki tradisi kekerabatan yang panjang dan kompleks. Di
beberapa daerah dikenal istilah nama marga yang menunjukkan adanya hubungan
kekeluargaan. Di Jawa walaupun jarang sekali digunakan nama marga tetapi
hubungan kekeluargaan tidak kalah eratnya dengan daerah yang mempergunakan nama
marga. Bahkan dalam kebudayaan Jawa istilah yang digunakan untuk menyebut
hubungan kekeluargaan bertingkat sampai tujuh turunan.
Eratnya hubungan kekeluargaan dalam
masyarakat Indonesia merupakan indikator kuatnya dominasi keluarga dalam
kehidupan seseorang. Norma-norma keluarga tampaknya masih dijunjung tinggi. Bahkan
sampai seseorang membentuk keluarga sendiri pun, asal usul keluarganya masih
selalu dibawa.
Dalam hubungannya dengan perkembangan
seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan
seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar
bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga. Sejak masih dalam
kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa
dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga.
Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi
ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu
perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
Dikatakan menjadi tempat utama karena
pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh
sangat besar terhadap perilaku seorang anak. Misalnya saja keluarga yang
harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki
keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa
yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali lanjaran”.
Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orangtuanya.
Karena keluarga menduduki posisi
sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli memberikan perhatian pada
masalah hubungan harmonis orangtua dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
kasus ketidak harmonisan hubungan antara orangtua dan anak padahal dalam
konteks perkembangan anak, orangtua berperan sangat besar.
Dalam konteks konseling terhadap para
remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi
pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya
saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidak
harmonisan keluarga atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih
sayang dari orangtua mereka.
B.
PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN ANAK
Seperti diketahui, pendidikan dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan informal, pendidikan formal
dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam
memberikan pendidikan nilai. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas
hubungan antara guru dan siswi. Pendidikan non formal dalam perkembangannya
saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan
nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi
dalam masyarakat kita.
Pihak yang masih dapat diharapkan
adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam
keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai
karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan
memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik. Proses pendiduikan dalam
keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara
perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang
bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Yang menjadi permasalahan saat ini
adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti
pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara
kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan
ke dalam tiga variasi, yaitu:
Pertama, keluarga harmonis.
Yang dimaksud keluarga harmonis disini adalah keluarga yang tidak memiliki
masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antar pribadi
maupun masalah finansial. Kedua,
keluarga bermasalah. Yang dimaksud keluarga bermasalah disini adalah keluarga
yang memiliki masalah baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah
finansial. Ketiga, keluarga gagal.
Yang dimaksud keluarga gagal disini adalah keluarga yang mengalami kegagalan
dalam membangun keluarga sehingga keluarga menjadi terpecah belah.
Betapa besar peranan ibu dan ayah dalam mendidik
putra-putrinya hingga di zaman dahulu mereka sering disejajarkan dengan Brahma.
Brahma adalah
dewa yang mempunyai empat sifat luhu tanpa batas
cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan keseimbangan batin kepada semua makhluk.
Bagi orangtua yang baik keempat sifat luhur tersebut akan menjadi dasar yang
tanpa batas dalam mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu anak-anak memandang
mereka laksana Dewa Brahma.
Karena kompleknya permasalah keluarga
di negara kita, pendidikan yang diberikan pun tidak dapat disamaratakan. Peran
masing-masing keluarga dalam pendidikan budi pekerti pun tidak dapat disamakan
satu keluarga dengan keluaga lain. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang
rasanya harus ada jika keluarha ingin berperan dalam pendidikan budi pekerti,
yaitu:
Pertama, Komitmen keluarga
untuk memperhatikan anak-anaknya. Terlepas dari apakah suatu keluarga merupakan
keluarga harmonis, bermasalah ataupun keluarga gagal, komitmen untuk
memperhatikan anak-anaknya menjadi kunci pendidikan budi pekerti bagi keluarga.
Walaupun suatu keluarga merupakan keluarga yang tampaknya sangat harmonis
tetapi jika kedua orang tuanya tidak memilki komitmen untuk memperhatikan
anak-anaknya maka anak-anaknya akan kekeringan perhatian dan pengarahan.
Akibatnya bisa jadi anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkungan
pergaulannya yang pada akhirnya mengalami kemerosotan moral dan budi pekerti.
Sebaliknya walaupun keluarga bermasalah, jika mereka punya komitmen besar untuk
memperhatikan anak-anaknya, niscaya anak-anaknya akan berkembang sangat baik
dan memiliki budi pekerti luhur.
Kedua, keteladanan. Proses
pendidikan dalam keluarga mengandalkan pada masalah keteladanan orangtua. Hal
ini berbeda dengan pola pendidikan sekolah yang lebih menekankan pada pola
indoktrinasi dan peluasan wawasan. Jika dalam keluarga diberlakukan pola
indoktrinasi dan peraturan, maka
keluarga justru akan menjadi tidak harmonis. Bahkan bisa jadi anak justru akan
menjadi agresif dan antipati terhadap keluarga. Akibatnya anak justru lebih
kerasan tinggal di luar rumah daripada berada di rumahnya sendiri. Jika
demikian artinya pendidikan budi pekerti dalam keluarga kurang berhasil.
Ketiga, komunikasi aktif.
Kasus-kasus renggangnya hubungan antara anak dan orang tua lebih banyak
disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara anak-orangtua. Karena kesibukan
masing-masing, anggota keluarga jarang bertemua. Akibatnya walaupun mereka
berada dalam satu rumah tetapi jarang sekali terjadi komunikasi langsung.
Jika ketiga prasarat pendidikan budi pekerti dalam
keluarga di atas dapat terpenuhi, maka dapat diyakini bahwa keluarga mampu
berperan dalam pendidikan budi pekerti. Permasalahannya sekarang adalah nilai
budi pekerti yang manakah yang dapat ditanamkan dalam keluarga. Kiranya ada
empat nilai yang dapat ditanamkan dalam keluarga, yaitu:
Pertama, nilai kerukunan.
Kerukunan merupakan salahsatu perwujudan budi pekerti. Orang yang memiliki budi
pekerti luhur tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan daripada
perpecahan. Jika dalam keluarga sudah sejak dini ditanamkan nilai-nilai
kerukunan itu dan anak dibiasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah maka
dalam kehidupan di luar keluarga mereka juga akan terbiasa menyelesaikan masalah berdasarkan permusyawarahan.
Kedua, nilai ketakwaan dan
keimanan. Ketakawaan dan keimanan merupakan pengendali utama budi pekerti.
Seseorang yang memiliki ketakwaan dan keimanan yang benar dan mendasar terlepas
dari apa agamanya tentu akan mewujudkannya dalam perilaku dirinya. Dengan
demikian sangat tidak mungkin jika seseorang memiliki kadar ketakwaan dan
keimanan yang mendalam melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa
dirinya itu memiliki budi pekerti yang sangat hina.
Ketiga, nilai toleransi. Yang
dimaksud toleransi di sini terutama adalah mau memperhatikan sesamanya. Dalam
keluarga nilai toleransi ini dapat ditanamkan melalui proses saling
memperhatikan dan saling memahami antaranggota keluarga. Jika berhasil, tentu
hal itu akan terbawa dalam pergaulannya.
Keempat, nilai kebiasaan
sehat. Yang dimaksud kebiasaan sehat di sini adalah kebiasaan-kebiasaan hidup
yang sehat dan mengarah pada pembangunan diri lebih baik dari sekarang.
Penanaman kebiasaan pergaulan sehat ini tentu saja akan memberikan dasar yang
kuat bagi anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama karena seseorang pertama kali
belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga. Sejak masih
dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa
dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga.
Interaksi dengan keluarga baru mulai
terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu
perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
2.
Proses pendiduikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi
nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan
dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan
yang mengarah pada kebaikan.
B.
SARAN
1.
Bagi
Daftar Pustaka
Ambroise, Yvon. 1987. “Pendidikan
Nilai” dalam Pendidikan Nonformal sebagai Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta :
LPPS-KWI.
Gordon, Thomas. 1984. Menjadi Orangtua
Efektif. Jakarta : Gramedia.
Hartoko, Dick. Ed. 1985. Memanusiakan
Manusia Muda. Yogyakarta : Kanisius.
Hurlock, Elisabeth B. 1980. Psikologi
Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima.
Jakarta : Erlangga.
Moedjanto, G, B. Rahmanto, dan J.
Sudarminto. Ed. 1992. Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990.
“Perkembangan Bahasa Anak dari Lahir Sampai Masa Prasekolah” dalam PELLBA 3,
penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Yogyakarta : Kanisius.
Sanggar Talenta. 1996. Biarkan Kami
Bicara Tentang Orangtua dan Pergaulan. Yogyakarta : Kanisius.
Udin, AM. Tamsik dan Sopandi. 1987.
Ilmu Pendidikan. Bandung : Epsilon Grup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar