Kamis, 20 Desember 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH  
Jauh sebelum kita memasuki tahun 2000, sidang Pleno ke XI menyerukan empat nilai yang perlu ditekankan dalam menyongsong tahun 2000. Keempat nilai universal tersebut adalah hormat kepada sesama, kreativitas, solidaritas yang bertanggung jawab dan kerohanian. Apabila himbauan itu kita refleksiakan kembali pada saat ini, rasa-rasanya tepatlah kekhawatiran banyak pihak yang terjadi saat itu, yaitu bahwa dunia akan dilanda degradasi moral secara global apabila nilai-nilai universal seperti disebutkan di atas tetap tidak mendapat perhatian lebih.
Dalam hubungan dengan kondisi kemanusiaan di Indonesia kita ketahui bahwa krisis ekonomi dan pilitik yang telah lebih dari tiga tahun ini, menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan yang kian menajam dan perlu segera mendapat penanganan adalah masalah merosotnya moral sumber daya manusia. Banyak kasus yang menjadi bukti akan merosotnya moralitas manusia Indonesia misalanya saja kasus pemerkosaan, maraknya pemakaian obat-obatan terlarang, pembunuhan, amuk masa dan masih banyak lagi.
Masalah kemerosotan moral manusia Indonesia itu menjadi semakin terlihat ironis ketika kita sedang gencar-gencarnya merencanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka menghadapi era globalisasi. Peningaktan kualitas sumber daya manusia merupakan kunci kemampuan kita menghadapi era globalisasi karena jika tidak memilki sumber daya manusia yang handal tentu kita akan kalah bersaing di negeri sendiri manakala sumber daya manusia dari negara asing bebas masuk ke negara kita. Maka dapat kita lihat betapa maraknya berbagai instansi maupun perguruan tinggi berlomba-lomba maningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Ternyata terbukti bahwa kita memang belum memiliki sumber daya manusia yang berkualitas karena sumber daya manusi kita gagal mengatasi krisis ekonomi, politik, sampai hampir-hampir mengakibatkan krisis moral bangsa.
Jika masalah kemerosotan ini tidak segera diatasi, perlahan-perlahan bangsa ini kan terjerumus pada kehancuran yang lebih parah. Untuk itu perlu kiranya segera dicari cara pemecahan yang terstruktur, efektif dan tepat sasaran. Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat kita mampu mengembalikan kualitas moral sumber daya manusia pada kondisi normal.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Peran Keluarga Dalam Perkembangan Anak.
2.      Bagaimana Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak.
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui Bagaiman Peran Keluarga Terhadap Perkembangan Anak.
2.      Mengetahui Bagaimana Peran Keluarga Dalam Memberikan Pendidikan Kepada Anaknya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      PERAN KELUARGA DALAM PERKEMBANGAN ANAK
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tradisi kekerabatan yang panjang dan kompleks. Di beberapa daerah dikenal istilah nama marga yang menunjukkan adanya hubungan kekeluargaan. Di Jawa walaupun jarang sekali digunakan nama marga tetapi hubungan kekeluargaan tidak kalah eratnya dengan daerah yang mempergunakan nama marga. Bahkan dalam kebudayaan Jawa istilah yang digunakan untuk menyebut hubungan kekeluargaan bertingkat sampai tujuh turunan.   
Eratnya hubungan kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia merupakan indikator kuatnya dominasi keluarga dalam kehidupan seseorang. Norma-norma keluarga tampaknya masih dijunjung tinggi. Bahkan sampai seseorang membentuk keluarga sendiri pun, asal usul keluarganya masih selalu dibawa.  
Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga. Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru  mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
Dikatakan menjadi tempat utama karena pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku seorang anak. Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali lanjaran”. Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orangtuanya.  
Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orangtua dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus ketidak harmonisan hubungan antara orangtua dan anak padahal dalam konteks perkembangan anak, orangtua berperan sangat besar.
Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidak harmonisan keluarga atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih sayang dari orangtua mereka.


B.       PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN  ANAK
Seperti diketahui, pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswi. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita.
Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik. Proses pendiduikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga variasi, yaitu:
Pertama, keluarga harmonis. Yang dimaksud keluarga harmonis disini adalah keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antar pribadi maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah. Yang dimaksud keluarga bermasalah disini adalah keluarga yang memiliki masalah baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal. Yang dimaksud keluarga gagal disini adalah keluarga yang mengalami kegagalan dalam membangun keluarga sehingga keluarga menjadi terpecah belah.
Betapa besar peranan ibu dan ayah dalam mendidik putra-putrinya hingga di zaman dahulu mereka sering disejajarkan dengan Brahma. Brahma adalah dewa yang mempunyai empat sifat luhu  tanpa batas cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan keseimbangan batin kepada semua makhluk. Bagi orangtua yang baik keempat sifat luhur tersebut akan menjadi dasar yang tanpa batas dalam mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu anak-anak memandang mereka laksana Dewa Brahma.
Karena kompleknya permasalah keluarga di negara kita, pendidikan yang diberikan pun tidak dapat disamaratakan. Peran masing-masing keluarga dalam pendidikan budi pekerti pun tidak dapat disamakan satu keluarga dengan keluaga lain. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang rasanya harus ada jika keluarha ingin berperan dalam pendidikan budi pekerti, yaitu:
Pertama, Komitmen keluarga untuk memperhatikan anak-anaknya. Terlepas dari apakah suatu keluarga merupakan keluarga harmonis, bermasalah ataupun keluarga gagal, komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya menjadi kunci pendidikan budi pekerti bagi keluarga. Walaupun suatu keluarga merupakan keluarga yang tampaknya sangat harmonis tetapi jika kedua orang tuanya tidak memilki komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya maka anak-anaknya akan kekeringan perhatian dan pengarahan. Akibatnya bisa jadi anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkungan pergaulannya yang pada akhirnya mengalami kemerosotan moral dan budi pekerti. Sebaliknya walaupun keluarga bermasalah, jika mereka punya komitmen besar untuk memperhatikan anak-anaknya, niscaya anak-anaknya akan berkembang sangat baik dan memiliki budi pekerti luhur.
Kedua, keteladanan. Proses pendidikan dalam keluarga mengandalkan pada masalah keteladanan orangtua. Hal ini berbeda dengan pola pendidikan sekolah yang lebih menekankan pada pola indoktrinasi dan peluasan wawasan. Jika dalam keluarga diberlakukan pola indoktrinasi dan peraturan,  maka keluarga justru akan menjadi tidak harmonis. Bahkan bisa jadi anak justru akan menjadi agresif dan antipati terhadap keluarga. Akibatnya anak justru lebih kerasan tinggal di luar rumah daripada berada di rumahnya sendiri. Jika demikian artinya pendidikan budi pekerti dalam keluarga kurang berhasil.
Ketiga, komunikasi aktif. Kasus-kasus renggangnya hubungan antara anak dan orang tua lebih banyak disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara anak-orangtua. Karena kesibukan masing-masing, anggota keluarga jarang bertemua. Akibatnya walaupun mereka berada dalam satu rumah tetapi jarang sekali terjadi komunikasi langsung.
Jika ketiga  prasarat pendidikan budi pekerti dalam keluarga di atas dapat terpenuhi, maka dapat diyakini bahwa keluarga mampu berperan dalam pendidikan budi pekerti. Permasalahannya sekarang adalah nilai budi pekerti yang manakah yang dapat ditanamkan dalam keluarga. Kiranya ada empat nilai yang dapat ditanamkan dalam keluarga, yaitu:
Pertama, nilai kerukunan. Kerukunan merupakan salahsatu perwujudan budi pekerti. Orang yang memiliki budi pekerti luhur tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan daripada perpecahan. Jika dalam keluarga sudah sejak dini ditanamkan nilai-nilai kerukunan itu dan anak dibiasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah maka dalam kehidupan di luar keluarga mereka juga akan terbiasa menyelesaikan  masalah berdasarkan permusyawarahan.
Kedua, nilai ketakwaan dan keimanan. Ketakawaan dan keimanan merupakan pengendali utama budi pekerti. Seseorang yang memiliki ketakwaan dan keimanan yang benar dan mendasar terlepas dari apa agamanya tentu akan mewujudkannya dalam perilaku dirinya. Dengan demikian sangat tidak mungkin jika seseorang memiliki kadar ketakwaan dan keimanan yang mendalam melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya itu memiliki budi pekerti yang sangat hina.
Ketiga, nilai toleransi. Yang dimaksud toleransi di sini terutama adalah mau memperhatikan sesamanya. Dalam keluarga nilai toleransi ini dapat ditanamkan melalui proses saling memperhatikan dan saling memahami antaranggota keluarga. Jika berhasil, tentu hal itu akan terbawa dalam pergaulannya.
Keempat, nilai kebiasaan sehat. Yang dimaksud kebiasaan sehat di sini adalah kebiasaan-kebiasaan hidup yang sehat dan mengarah pada pembangunan diri lebih baik dari sekarang. Penanaman kebiasaan pergaulan sehat ini tentu saja akan memberikan dasar yang kuat bagi anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.





















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN  
1.      Keluarga merupakan tempat pertama dan utama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga. Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru  mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
2.      Proses pendiduikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
B.     SARAN    
1.      Bagi




Daftar Pustaka
Ambroise, Yvon. 1987. “Pendidikan Nilai” dalam Pendidikan Nonformal sebagai Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : LPPS-KWI.
Gordon, Thomas. 1984. Menjadi Orangtua Efektif. Jakarta : Gramedia.
Hartoko, Dick. Ed. 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta : Kanisius.
Hurlock, Elisabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
Moedjanto, G, B. Rahmanto, dan J. Sudarminto. Ed. 1992. Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. “Perkembangan Bahasa Anak dari Lahir Sampai Masa Prasekolah” dalam PELLBA 3, penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Yogyakarta : Kanisius.
Sanggar Talenta. 1996. Biarkan Kami Bicara Tentang Orangtua dan Pergaulan. Yogyakarta : Kanisius.
Udin, AM. Tamsik dan Sopandi. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung : Epsilon Grup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar